Anggota DPR minta Satgas Antipremanisme tindak preman berkedok pers
Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI Oleh Soleh meminta agar Satgas Antipremanisme mengambil tindakan tegas. Terhadap oknum preman yang menyamar sebagai jurnalis dan melakukan tindakan intimidasi serta pemerasan terhadap masyarakat.
Menurutnya, Satgas Antipremanisme harus menindak oknum yang berpura-pura menjadi wartawan media online. Yang meresahkan masyarakat, selain juga mengawasi preman yang menyamar sebagai anggota organisasi kemasyarakatan (ormas).
“Satgas Antipremanisme harus menindak dan menangkap mereka jika melakukan tindakan pidana yang sangat merugikan masyarakat,” ungkap Oleh Soleh dalam keterangan yang diterima di Jakarta, cvtogel, Senin.
Oleh Soleh juga meminta aparat penegak hukum, termasuk Polri, TNI, dan satpol PP. Untuk memberikan perhatian serius terhadap praktik premanisme yang menyamar sebagai pers.
“Ini bukan hanya merusak nama baik profesi jurnalis, tetapi juga merupakan tindakan kriminal yang mengganggu masyarakat. Negara tidak boleh membiarkan praktik semacam ini berkembang,” jelasnya.
Ia mengutuk keras tindakan premanisme yang menyamar sebagai pers, yang tidak hanya terjadi di satu lokasi. Tetapi semakin marak di berbagai daerah. Mereka bahkan berani melakukan pemerasan terhadap banyak pihak. Termasuk kepala sekolah, ketua yayasan, kepala desa, kepala dinas, pemilik usaha, dan masyarakat biasa.
“Keadaan ini sangat menyusahkan masyarakat yang menjadi korban. Mereka terus-menerus diteror dan diminta uang. Ini jelas adalah pemerasan. Tindakan premanisme seperti ini tidak boleh dibiarkan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa keberadaan media dan kegiatan jurnalistik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Dalam Pasal 9 ayat (2) UU Pers dinyatakan bahwa perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
“Ini berarti media harus didirikan sebagai badan usaha yang sah, seperti perseroan terbatas (PT), koperasi, dan yayasan (khusus untuk media nonkomersial),” tambahnya.
Wakil rakyat ini juga menyatakan bahwa perusahaan media diharuskan mendaftar ke Dewan Pers, serta disarankan untuk menjalani verifikasi administrasi dan faktual guna mendapatkan sertifikasi dan perlindungan hukum jika terjadi sengketa.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa perusahaan pers harus menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik dan memiliki wartawan profesional, sesuai dengan Pasal 7 UU Pers.
Ia kemudian merincikan 11 poin Kode Etik Jurnalistik menurut Dewan Pers yang harus dipatuhi oleh semua media, antara lain media harus independen, profesional, tidak menerbitkan berita bohong atau fitnah, tidak mencampurkan fakta dan opini dengan menghakimi, tidak menyalahgunakan informasi, dan dilarang menerima suap.
“Menerima suap saja sudah dilarang, apalagi memeras masyarakat. Tindakan ini jelas sudah masuk dalam ranah pidana yang harus ditindak dan diproses secara hukum oleh penegak hukum,” paparnya.
Oleh Soleh menambahkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh oknum preman yang mengklaim sebagai wartawan dari media ilegal tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga nonfisik atau verbal.
“Ini merupakan bentuk pemerasan terselubung yang dilakukan melalui penyebaran fitnah atau narasi yang menyesatkan kepada masyarakat, yang dapat menyasar siapa saja, mulai dari kepala desa, guru, hingga para kiai,” tambahnya.
Ia menyatakan dukungan terhadap upaya Satgas Antipremanisme yang dibentuk oleh pemerintah dan berharap dapat menjadi garda terdepan dalam melindungi masyarakat dari intimidasi, pemerasan, dan tindakan provokatif yang tidak bertanggung jawab.
“Premanisme melalui media online yang tidak jelas ini sama berbahayanya dengan kekerasan di jalanan. Karena itu, penanganannya pun harus tegas dan terukur,” tegasnya.